Di masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan, sistem bacaan (qira’ah) Al-Qur`an diseragamkan, yang semula beragam sesuai riwayat yang sampai kepada Rasulullah. Sistem bacaan Al-Qur`an ini awalnya tidak menjadi dilema. Mayoritas shahabat paham, variasi tersebut memang berasal dari Nabi dan tidak harus dipertetangkan.
Namun ada sebagian shahabat yang kurang memahami hal itu, dikarenakan -mungkin- mereka belum mengetahui otentisitas variasi tersebut dari Nabi. Sehingga sebagian shahabat ini menganggap qira’ahnya lebih baik dari yang lain dan menyalahkan shahabat yang qira’ahnya berbeda.
‘Utsman bin ‘Affan menangkap sinyal benih-benih perpecahan jika fenomena ini dibiarkan. Beliau akhirnya memutuskan untuk menyeragamkan qira’ah kaum muslimin dalam satu qira’ah. Keputusan ini bukanlah bid’ah, yang semuanya dhalalah (sesat), juga bukan bid’ah hasanah (baik), tapi sunnah, karena Rasulullah telah memberikan legitimasi spesial untuk keempat khulafa` ar-rasyidin, dan Rasulullah menyerukan untuk mengambil sunnah beliau sendiri dan sunnah khulafa` ar-rasyidin.
Kronologi pengambilan keputusan ini bermula tatkala Hudzaifah bin Al-Yaman turut serta dalam perang bersama penduduk Iraq, melawan penduduk Syam untuk membebaskan kota Armenia dan Adrobijan. Hudzaifah mendapati muslim Syam membaca Al-Qur`an dengan riwayat Miqdad bin Aswad, Abu Ad-Darda`, dan Ubay bin Ka’b, sementara muslim Iraq biasa dengan qira’ah riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari.
Melihat hal itu, Hudzaifah berinisiatif menghadap ‘Utsman dan berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur`an, seperti perselisihan Yahudi dan Nashrani.” Hudzaifah lantas melaporkan apa yang dia saksikan.
‘Utsman kemudian mengumpulkan para shahabat untuk meminta pendapat mereka. ‘Utsman mengemukakan idenya, yaitu menulis Al-Qur`an dalam satu qira’ah dan memerintahkan kaum muslimin di seantero dunia untuk membaca Al-Qur`an dengan qira’ah tersebut, tidak dengan qira’ah yang lain, kendati shahih dari Nabi, guna menutup pintu perpecahan yang eksesnya sangat fatal. ‘Utsman memandang langkah ini mampu meredam dan mencegah permusuhan antarmuslim.
Selanjutnya ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah, meminta lembaran-lembaran Al-Qur`an yang dulu dikodifikasi oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dulunya lembaran-lembaran ini disimpan Abu Bakar sepanjang hayatnya, kemudian oleh ‘Umar bin Al-Khaththab, dan setelah ‘Umar wafat, lembaran Al-Qur`an tersebut diambil alih oleh putrinya sendiri, Hafshah, yang juga salah seorang istri Rasulullah.
Setelah diterima, ‘Utsman memberi mandat kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan ‘Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya menjadi beberapa mush-haf. ‘Utsman memerintahkan tidak menggunakan titik dan harakat, supaya Al-Qur`an yang tertulis tersebut bisa memuat varian huruf yang lain. ‘Utsman berpesan, apabila ditemukan perbedaan dalam suatu masalah, hendaknya ditulis dalam ejaan Quraisy. Mereka pun melaksanakannya.
Setelah selesai, ‘Utsman mengembalikan lembaran-lembaran Al-Qur`an tadi kepada Hafshah, kemudian ‘Utsman memerintahkan mengirimkan mush-haf-mush-haf salinan, yang kemudian disebut mush-haf imam, ke beberapa wilayah kaum muslimin. Mush-haf imam ini disebar ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan satu mush-haf tetap di Madinah. Selain tujuh mush-haf ini yang masih tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan yang berbeda dengan mush-haf imam, dihilangkan dengan cara dibakar. Semua shahabat menyepakati penulisan ini.
Kisah ini tercatat dalam Fat-h Al-Bari, karya Ibnu Hajar, 8/344 no. 4679, 9/10 no. 4987, dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir, 7/217, dalam Tarikh Al-Khulafa`, karya As-Suyuthi, hal. 77. Terwujudlah persatuan, sirnalah perselisihan dan perpecahan. Dengan karunia Allah, kemudian karena kebijakan ‘Utsman, semua qalbu menjadi satu.
Ditulis oleh UBER (akronim dari Ust. H. Brilly El-Rasheed, S.Pd.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar