Jumat, 10 Januari 2020

Khawatir Kena Najis Saat Berinteraksi Bertransaksi Berhubungan Bermuamalah dengan Orang Kafir Nonmuslim | Konsultasi Syariah dan Fiqih (KASYAF) | UBER (Ustadz H. Brilly El-Rasheed, S.Pd.)


Konsultasi Syariah dan Fiqih No. 337 - Khawatir Kena Najis Saat Bermuamalah dengan Orang Kafir


➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

_Pertanyaan_

Assalamualaikum ustadz

Ustadz saya mau bertanya: Satu, bagaimana semisal kita naik gojek online yang mana sopirnya itu orang Kafir. Saya khawatir ada najis besar. Dua, Misalkan dijalan ada mobil yg ngangkut anjing-anjing. Nah misal kita bermotor lewat berpapasan dgn mobil tersebut. Kan suka anginan klo berkendara. Apakah membuat pakaian kita mnjd najis? Tiga, adik saya kan punya teman. Namanya adit. Adit punya anjing di rumahnya. Nah adik saya sering ikut naik motor adit saat pergi dan pulang sekolah. Apakah pakaian adik saya sewaktu duduk dimotor adit jadi najis besar? Saya was-was mungkin pada saat sehabis bermain dgn anjingnya atau keluarga si adit menaiki motor trsbut dlm keadaan pakaiannya tdk suci. Empat, misal, kita bertamu kerumah orang yang memelihara anjing dirumahnya. Lalu kita duduk di sofa nya, kan mungkin anjingnya pernah diletakkan di sofa ataupun orang dirumah tersebut yang bersentuhan lsg dgn anjing lalu ddk di sofa. Apakah menjadikan kita yg duduk di sofa tersebut menjadi najis besar? Lima, Misal kita beli barang di online shop, dan ternyata yg jual orang kafir. Berkaitan dgn najis itu bagaimana ustadz?


Ditanyakan oleh *saudara Adam* (+62 895-0280-9928) pada _8 Januari 2020_


➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

_Jawaban_

Wa'alaikumussalam 

Kami salut dengan Mas Adam yang punya perhatian besar terhadap kesucian segala sesuatu. Indikasi kuat bahwa Mas Adam ingin menjadi hamba terbaik. Kita sudah sama-sama tahu bahwa shalat hanya sah bila kita suci. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi bersabda,

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ 

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci.” [Jami’ At-Tirmidzi]


Para ulama menjabarkan, bila hendak shalat, kita wajib bersuci dalam tiga: badan, pakaian dan tempat. 


Untuk dipahami, bahwa menjadi hamba terbaik itu selain harus menjaga kesucian juga mesti menimba ilmu. Beruntung Mas Adam mau bertanya hukum agama kepada kami. 


Sebelum menjawab, pertanyaan dari kami: Memangnya pakaian kita terkena najis dari anjing? Di motornya ada najisnya? Kira2 di sofa tersebut ada bekas najis anjing ga? Kira2 di produk dari online shop tersebut Saat diterima mas Adam, ada najisnya? 


Cara menyikapi kemungkinan-kemungkinan najis itu bagaimana? Ya tidak bagaimana-bagaimana, kan tidak ada najisnya. Baru berstatus hukum tidak suci alias najis kalau ada dzat najisnya. Kalau mengikuti kekhawatiran terus, maka setiap saat berarti kita dalam keadaan najis, sebab dimana2 ada najis dan kita BISA JADI tidak sadar kalau ketempelan najis.


Untuk dipahami, bahwa beragama itu bukan berdasarkan waswas, khawatir, jangan-jangan semata, tapi mesti dengan ilmu dan keyakinan. Beruntung Mas Adam bertanya sehingga bisa memiliki ilmu tentang hal penting ini. 


Segala sesuatu dianggap suci kalau tidak ada bukti adanya najis. Kita hanya DIWAJIBKAN mensucikan najis yang kelihatan atau ada bekasnya atau ada baunya. Kalau tidak ada najis maka apapun dianggap suci oleh agama kita. 


Ulama seluruh dunia sejak zaman atba' tabi'in hingga hari ini dan akhir zaman telah sepakat dengan sebuah prinsip, 

الأصل في الاعيان الاباحة و الطهارة

"Pada asalnya, segala sesuatu itu boleh dan suci."


Kami juga pernah memaparkan dalam Konsultasi Syariah dan Fiqih (KASYAF) No. 224, bahwa

اليقين لا يزول بالشك 

“Sesuatu yang sudah diyakini maka tidak bisa hilang karena sesuatu yang ragu2.”
Dan

الاصل بقاء ما كان على ما كان

“Pada asalnya sesuatu statusnya tetap seperti adanya”
Dan

الحكم الحادث الى السبب المعلوم لا الى المقدر المظنون

“Hukum yang baru didasarkan pada sebab yang sudah diketahui, bukan berdasarkan ukuran-ukuran yang hanya dugaan.” 

Dan

نحن نحكم بالظواهر و الله يحكم بالاسرائر

“Kita menghukumi berdasarkan yang zhahir dan Allah menghukumi berdasarkan yang tidak zhahir.”
Dan masih banyak dalil lainnya dari para ulama

Jadi bagaimana pun kondisinya, yg penting ndak kelihatan ada najis berarti suci. Imam An-Nawawi menjelaskan,

اسْتِحْبَابُ الِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَاتِ وَغَيْرِهَا بِحَيْثُ لَا يَنْتَهِي إلَى الْوَسْوَسَة

“Diperbolehkan berihthiyath (berhati-hati) dalam masalah ibadah dan yang lain tapi jangan sampai mengakibatkan waswas.” [Al-Majmu’]


Tolong diingat baik2 ya dalil-dalil fiqih ini, bahwa PADA ASALNYA segala sesuatu itu boleh dan suci, Baru Njenengan 'boleh' waswas jangan2 najis kalau ada INDIKASI najis. Kalau tidak ada indikasi najis ya berarti suci dan Njenengan ga bakalan berdosa andaikata ternyata benar-benar ada najis, sebab kondisinya tidak tahu. 


Bersamaan dengan itu, bermuamalah, berinteraksi, bertransaksi dengan non-Muslim alias kafir itu boleh dan tidak perlu khawatir ada najis pada tubuh, pakaian, barang maupun tempat milik non-Muslim tersebut kecuali benar-benar kelihatan, terasa atau tercium najis. 


Kenapa bisa seperti itu status hukumnya? Bisa, karena memang begitu. Kita baca bareng-bareng ya nash-nash berikut ini. 


Imam Al-Bukhâri telah meriwayatkan dalam kitab Al-Buyû’ Bab Asy-Syirâ` wa Al-Bai’ ma’a Al Musyrikîn wa Ahli Al-Harb dari Abdurrahmân bin Abi Bakar Radhiyallahu anhu beliau berkata, 


كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً؟ – أَوْ قَالَ: – أَمْ هِبَةً “، قَالَ: لاَ، بَلْ بَيْعٌ، فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً


Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang musyrik berambut panjang sekali (atau berambut acak-acakan) membawa kambing yang digiringnya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Silahkan dijual atau diberikan? Atau berkata: atau dihadiahkan?" Maka ia menjawab, "Tidak. Tapi dijual." Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli darinya seekor kambing. [Shahih Al-Bukâhri  4/410 no. 2216].


Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ، وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ


Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan orang yahudi mengambil baju besi beliau sebagai gadai jaminannya [Shahih Al-Bukhari].


Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Al-Janâ`iz dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata, 


كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: «أَسْلِمْ»، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ.


Dahulu ada seorang anak Yahudi biasa membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suatu saat ia sakit, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya seraya berkata kepadanya: Masuklah ke dalam Islam! Lalu anak tersebut melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Sang bapak berkata kepadanya: Taatilah Abul Qasim . Lalu ia masuk Islam. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sembari berkata, "Segala puji bagi Allâh yang telah menyelamatkannya dari neraka." [Shahihl-Bukhâri 3/219 no. 1356].


Imam Al-Bukhâri juga meriwayatkan kisah Abu Thâlib ketika sakaratul maut, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya dan menawarkan Islam kepadanya [lihat Shahih Al-Bukhâri 3/222 no. 1360].


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai baju buatan Yaman sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit, beliau keluar memakai baju qithriyyah (yaitu baju bercorak dari Yaman yang terbuat dari katun) [Mukhtashar Asy Syamail hal. 49]. Perlu diketahui bahwa kebanyakan penduduk Yaman ketika itu adalah orang-orang kafir.


Diceritakan oleh Buraidah, 

أن النجاشي أهدى النبي صلى الله عليه و سلم خفين أسودين ساذجين فلبسهما ثم توضأ ومسح عليهما 

“Raja Najasyi pernah memberi hadiah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua buah khuf yang berwarna hitam yang terlihat sederhana, kemudian beliau menggunakannya dan mengusap kedua khuf tersebut.” [Mukhtashar Asy Syamail hal. 51] 


Masih ada beberapa nash lainnya. Walhasil, tidak perlu takut berinteraksi dengan orang-orang kafir kecuali mereka memusuhi kita dan ada najis pada tubuh, pakaian, barang maupun tempat mereka. 


Didalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa bermuamalah dengan orang-orang kafir adalah dibolehkan. Telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau saw pernah membeli barang dari seorang Yahudi hingga waktu yang dimudahkan.” Terdapat pula riwayat bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang akan datang dan beliau menggadaikan baju besinya.” Ini merupakan dalil dibolehkannya bermuamalah dengan mereka (orang-orang Kafir).


Adapun tentang kekhawatiran anda terhadap barang-barang yang dibeli dari orang-orang non muslim kemungkinan terkena najis dari binatang-binatang piaraan mereka yang diharamkan islam, seperti : anjing atau babi maka tidaklah berpengaruh


Apabila barang-barang yang dibeli dari mereka terkena oleh najis anjing atau babi dan najis tersebut masih basah maka diharuskan bagi si pembeli untuk mensucikannya dengan air tujuh kali yang salah satunya adalah dengan tanah. Dan jika najis tersebut sudah kering atau tidak lagi tampak bekas-bekasnya pada barang tersebut maka hal itu tidaklah mengapa dan tidak perlu dicuci dengan tanah tujuh kali yang salah satunya dengan tanah.


Sedangkan apabila barang tersebut hanya sebatas tersentuh oleh badan anjing atau babi baik anda mengetahui atau tidak mengetahuinya maka hal demikian tidaklah menjadikan barang itu najis dikarenakan yang najis dari kedua binatang itu bukanlah bulu atau badannya akan tetapi pada air liur dan dagingnya, sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bin Hambal serta yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.


https://m.eramuslim.com/ustadz-menjawab/membeli-barang-dari-non-muslim.htm


Pun begitu, kita hanya diwajibkan menghilangkan najis dan mensucikan tempat tertentu bila tempat tersebut hendak kita gunakan sebagai tempat shalat. 


قَالَ ابْنُ عُمَرَ كُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكُنْتُ فَتًى شَابًّا عَزَبًا وَكَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Ibnu Umar berkata, “Aku dulu bermalam di masjid di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika itu aku masih muda dan bujangan, dan anjing-anjing kencing (di luar masjid). Lalu keluar masuk masjid, akan tetapi mereka (para sahabat Nabi) sama sekali tidak memercikkan air (di masjid) karena hal itu”. [Sunan. Abu Dawud No. 382 dan Shahih Ibnu Hibban No. 1656] 


قَالَ كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ‏


Pada masa Rasulullah, anjing-anjing biasa buang air kecil, dan melewati masjid-masjid (datang dan pergi), tetapi mereka (sahabat) tidak pernah memercikkan air di atasnya (urin anjing) [Shahih Al Bukhari no. 174] 


Syaikh Muhammad Asyraf ‘Azhim Abadi menjelaskan hadits ini, 


وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ إِذَا أَصَابَتْهَا نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ أَوِ الْهَوَاءِ فَذَهَبَ أَثَرُهَا تَطْهُرُ إِذْ عَدَمُ الرَّشِّ يَدُلُّ عَلَى جَفَافِ الْأَرْضِ وَطَهَارَتِهَا


“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tanah yang terkena najis ketika najisnya sudah kering karena matahari atau karena angin, maka hilanglah efek kenajisannya, dan tanah tersebut menjadi suci, karena (dalam hadits disebutkan) tidak diperciki air, dan itu menunjukan telah keringnya tanah dari najis, dan menunjukan akan sucinya juga.”


قَالَ الْخَطَّابِيُّ فِي مَعَالِمِ السُّنَنِ وَكَانَتِ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ عَابِرَةً إِذْ لَا يَجُوزُ أَنْ تَتْرُكَ الْكِلَابُ انْتِيَابَ الْمَسْجِدِ حَتَّى تَمْتَهِنَهُ وَتَبُولَ فِيهِ وَإِنَّمَا كَانَ إِقْبَالُهَا وَإِدْبَارُهَا فِي أَوْقَاتٍ نَادِرَةٍ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى الْمَسْجِدِ أَبْوَابٌ تَمْنَعُ مِنْ عُبُورِهَا فِيهِ


“Al-Khaththabi berkata dalam kitab beliau Ma’alim As-Sunan, dulu anjing-anjing kencing di masjid, anjing tersebut datang dan pergi melewati masjid. sebenarnya tidak diperbolehkan anjing dibiarkan berlalu lalang di masjid sehingga masjid akan hina, akan tetapi (yang ada dalam hadits ini) merupakan kondisi yang jarang, dan di waktu itu masjid belum ada pintu yang bisa menghalangi anjing-anjing tersebut.”


Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, 

والأقرب أن يقال: إن ذلك كان في ابتداء الحال على أصل الإباحة، ثم ورد الأمر بتكريم المساجد وتطهيرها وجعل الأبواب عليها،

فاشار إلى أن ذلك كان في الابتداء، ثم ورد الأمر بتكريم المسجد حتى من لغو الكلام، وبهذا يندفع الاستدلال به على طهارة الكلب.

“Pendapat yang paling mendekati kebenarab adalah bahwa hal ini terjadi di awal-awal (dibangunnya masjid), berdasarkan prinsip bahwa semua hal diperbolehkan (kecuali ada bukti yang bertentangan), maka ketika perintah turun untuk menghormati dan memurnikan masjid, dibuatlah pintu-pintu masjid (agar anjing tidak bisa masuk)” [Fat-h Al-Bari, 1/279] 


Dalam fiqh madzhab Syafi’i, menjadi najisnya suatu tempat sebab bersentuhan dengan anjing, disyaratkan salah satunya dalam kondisi basah. Sehingga jika anjing masuk ke masjid dan tidak diketahui secara pasti menjilat-jilat karpet dan semisalnya di area masjid, maka masjid tersebut tetap dihukumi suci.


Seluruh bumi adalah masjid dan suci kecuali bila terdapat najis dan harus disucikan dari najis bila hendak ditempati untuk shalat.


أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ

Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun dari Nabi-Nabi sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sepanjang sebulan perjalanan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci; maka dimana saja seorang laki-laki dari ummatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat. Dihalalkan harta rampasan untukku, para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberikah (hak) syafa’at”. [Shahih Al-Bukhari] 


Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian” [Sunan At-Tirmidzi no. 317; Sunan Ibnu Majah no. 745]


Mungkin Mas Adam masih bertanya, bukankah orang-orang musyrik itu najis? Betul, Allâh Al-Jalil berfirman, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” [QS. At-Taubah: 28] 


Untuk memahami firman Allah Al-Hasib ini, kita mesti melihat bagaimana Rasulullah dan para shahabat Beliau. 


أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ


Rasulullah diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. [Shahih Al-Bukhari] 


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

بَعَثَ النَّبِيُّ خَيْلاً قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ فَقَالَ: أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ !فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan berkuda ke arah Najd. Kemudian pasukan tersebut kembali dengan membawa seorang tawanan dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka lantas mengikatnya di salah satu tiang Masjid Nabawi. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya, beliau berkata, ‘Bebaskan Tsumamah!’ Lalu Tsumamah beranjak ke pohon kurma yang tidak jauh dari Masjid Nabawi, mandi, lalu masuk masjid, lantas berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah’.” [Muttafaq ‘Alaih] 


Di dalam hadits ini, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat tubuh Tsumamah yang masih kafir di salah satu tiang masjid. Seandainya fisik orang kafir itu najis, tidak mungkin ia dimasukkan ke Masjid Nabawi yang suci.


Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan bolehnya mengikat tawanan dan menahannya, serta bolehnya memasukkan orang kafir dalam masjid. Dan Madzhab Imam Asy-Syafi’i adalah bolehnya memasukan orang kafir dalam mesjid dengan idzin seorang muslim, sama saja apakah orang kafir tersebut dari kalangan Ahlul Kitab atau selain mereka” [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 12/87, lihat perkataan Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm 1/54] 


Demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya memberi judul sebuah bab dengan judul, 


بَابُ الرُّخْصَةِ فِي إِنْزَالِ الْمُشْرِكِيْنَ الْمَسْجِدَ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ أَرْجَا لإسْلاَمِهِمْ وَأَرَقَّ لِقُلُوْبِهِمْ إِذَا سَمِعُوا الْقُرْآنَ وَالذِّكْرَ


“Bab rukhshahnya memasukan kaum musyrikin ke dalam masjid selain al-masjid al-haram jika dengan hal itu diharapkan mereka lebih mudah masuk islam dan lebih melembutkan hati mereka tatkala mereka mendengar Al-Qur’an dan dzikir (mau’izhah)”


Lalu beliau membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabu bernama Utsman bin Abi Al ‘Ash, 


اَنَّ وَفْدَ ثَقِيفٍ قَدِمُوا على رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَنْزَلَهُمُ الْمَسْجِدَ لِيَكُونَ أَرَقَّ لِقُلُوبِهِمْ


“Bahwasanya utusan suku Tsaqif datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabipun memasukan mereka ke dalam mesjid agar qalbu mereka lebih lembut” [Shahih Ibnu Khuzaimah 2/285 no 1328, Musnad Ahmad 4/218, As-Sunan Al-Kubro li Al-Baihaqi no 4131 dan  Al-Mu’jam Al-Kabir li Ath-Thabrani no 8372] 


Baiklah, kami rasa jawaban kami terlampau cukup untuk memuaskan dahaga ilmu Mas Adam dan para jamaah Quantum Fiqih lainnya. 


Dijawab oleh UBER (Ustadz H. Brilly El-Rasheed, S.Pd.)

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Mohon bantuan share jawaban ini ke grup-grup Whatsapp, Facebook, Telegram dan lain-lain dengan tetap mencantumkan identitas kami, Konsultasi Syariah dan Fiqih (KASYAF) oleh Quantum Fiqih Islamic Broadcast (QUFI IB) bimbingan UBER (Ustadz H. Brilly El-Rasheed, S.Pd.).


Jangan lupa follow instagram.com/pejuangshalatsunnah


Dukung QUFI IB dengan belanja mushaf Al-Quran di instagram.com/gudangkitabsucialquran


Sampaikan konsultasi melalui kontakk.com/@quantumfiqih


Ikuti aneka pelatihan bisnis kuliner Rumahan di LPKS YADARIQUFIYA hubungi 082140888638 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar